PHOTOGRAPHER
ATAU
PHOTOSHOPER?
Kemajuan teknologi fotografi dan komputer grafis sejatinya memang diperuntukkan demi kemudahan serta optimalisasi hasil dari fotografi itu sendiri. Sejak teknologi digital diaplikasikan pada perangkat kamera digital, penggunaan software pengolah foto seperti: Adobe Photoshop, Macromedia Xres, Corel PhotoPaint, Metacreation Live Picture dan software pengolah foto lainnya meningkat drastis. Memang software pengolah foto sudah dipergunakan bahkan ketika fotografi masih menggunakan media analog seperti slide & film. Namun pada masa itu software pengolah foto hanya dipergunakan sebatas menghilangkan cacat-cacat kecil pada foto. Cacat tersebut bisa karena debu yang tertangkap pada proses scanning, atau memang sumber fotonya yang cacat. Namun perkembangan teknologi fotografi rupanya juga menuntut penggunaan software pengolah foto untuk bisa ambil bagian lebih banyak dari sebelumnya. Kini software pengolah foto sudah menjadi piranti wajib bagi para fotografer.
Beberapa edisi yang lalu salah seorang nara sumber kami yang berprofesi sebagai fotografer iklan pernah berkata, “tuntutan terhadap output fotografi sudah semakin tinggi. Sekarang fotografi bukan hanya berhenti pada proses pemotretan saja, tapi ada proses pra produksi dan pasca produksi yang juga tidak kalah penting.” Proses pasca produksi inilah yang dianggapya sebagai proses enchanching & digital imaging yang menggunakan software pengolah foto. Jika kita lihat iklan-iklan yang tayang di berbagai media seperti surat kabar, majalah, billboard dan media cetak lainnya memang tidak bisa dipungkiri penggunaan software pengolah foto memang semakin mendapat tempat dalam proses penciptaan foto iklan. Hal ini dapat kita lihat dari kualitas output foto yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh kamera seorang diri. Foto-foto dalam iklan yang memang memiliki tuntutan untuk memiliki striking power dan sticking power rupanya berakibat kepada tuntutan penggunaan software pengolah foto pada proses digital imaging untuk menghadirkan hal-hal yang tidak mungkin atau sangat sulit untuk dilakukan hanya dengan kamera. Hal yang sama juga bisa kita temui pada foto fashion. Foto fashion pada halaman majalah pun mulai mengandalkan bantuan software pengolah foto. Ini untuk mencapai hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh kamera.
Pertumbuhan penggunaan software pengolah digital juga bisa dilihat dari menjamurnya buku-buku tutorial software pengolah foto tersebut. Jika kita lihat dalam 10 tahun belakangan ini rak buku di toko-toko buku ternama di sekitar kita pun mulai dibanjiri dengan buku-buku tutorial software pengolah grafis. Bahkan dari satu versi software pun bisa terdapat lebih dari 10 buku dengan topik bahasan yang tidak terlalu jauh berbeda. Kursus-kursus komputer grafis terutama yang menawarkan pelatihan software pengolah foto pun membanjir. Peminatnya seolah-olah tidak pernah habis.
Satu indikator otentik mengenai menjamurnya penggunaan software pengolah foto adalah foto-foto pada halaman photo blogger & galeri fotografi online. Sedikitnya 5 dari 10 foto yang diupload dan bisa diakses pada ruang semacam itu mengandalkan software pengolah foto. Bahkan forum fotografi online pun menyediakan segmen khusus untuk berdiskusi masalah olah digital ini.
Yang menjadikan permasalahan ini menarik bagi kami adalah sebatas mana penggunaan software pengolah foto masih bisa diterima dan dibenarkan oleh pakem dan keyakinan fotografi modern?
Untuk menjawab hal ini kami telah melakukan interview dengan 20 orang pehobi fotografi dari tingkat pemula hingga tingkat mahir. Hasilnya 12 dari 20 orang tersebut menganut keyakinan penggunaan olah digital dalam fotografi sah-sah saja tanpa harus ada batasan. 1 orang menolak penggunaan olah digital dalam fotografi dan 7 orang menganggap olah digital masih bisa diterima sebatas tidak bisa didapatkan oleh kamera.
12 orang kelompok yang menerima sebebas-bebasnya penggunaan olah digital pada foto menganggap bahwa penggunaan olah digital adalah bagian penting dalam penciptaan sebuah foto. “Kalau bisa lebih bagus kenapa nggak dilakukan.” Ungkap Budi, salah seorang dari kelompok ini. Budi adalah pehobi fotografi yang sudah sekitar 3 tahun menekuni fotografi. Budi senang sekali berpartisipasi dalam gallery foto online dimana ia bisa mengupload fotonya untuk dikomentari orang lain. “coba kalau kita lihat galeri foto online, hampir semua orang pakai photoshop. Yang penting kan hasil akhirnya.” Tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Djoko, seorang fotografer wedding amatir. “di wedding foto kalau tidak pakai olah digital mana bisa dijual. Semua foto wedding yang laku dijual selalu pakai olah digital. Minimal untuk color correction dan push contrast.”
Hal menarik lain kami temui ketika kami melihat sebuah foto dari salah seorang kelompok ini. Kami melihat foto ketika masih mentah tanpa olahan sama sekali dan ketika sudah diolah. Hasilnya jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Hasil mentahnya menunjukkan foto yang relatif terang walaupun belum tergolong hi key. Namun foto yang sama setelah terkena sentuhan olah digital berubah 180 derajat menjadi low key dengan banyak kontras yang dipaksa hingga kehilangan detail. Fotografer yang membuatnya pun merasa bangga akan keahliannya menyulap foto tersebut.
Generasi yang lebih muda nampaknya memang lebih terbuka terhadap penggunaan olah digital. Lebih jauh lagi, tidak sedikit yang terjerumus terlalu dalam sehingga porsi olah digitalnya jauh lebih berperan dibanding fotografinya. Untuk melihat hal ini secara lebih seimbang, kami pun berbincang-bincang dengan beberapa nara sumber yang berkompeten di bidang ini.
Bayu, salah seorang pehobi foto yang juga bekerja sebagai art director di sebuah perusahaan grafis berpendapat bahwa harus ada pemisahan antara koridor hobby dan koridor komersil. Jika foto yang dihasilkan sekedar hobby maka sah-sah saja untuk membuka batasan penggunaan software olah digital. Namun jika foto yang dihasilkan untuk keperluan komersil seperti wedding, jurnalistik, iklan, dll fotografer yang bersangkutan harus cerdik melihat kebutuhan dan tuntutan konsumen. “Di wedding ada yang suka fotonya diolah habis-habisan tapi ada juga yang nggak suka. Berbeda dengan di jurnalistik. Pengolahan software olah digital sangat dibatasi karena yang ingin ditampilkan adalah keaslian dari foto tersebut, jadi kalau sudah masuk dapur digital mana bisa dijual.” Ungkapnya.
Berbeda lagi dengan Nuki, seorang digital artis yang banyak melakukan proses olah digital pada foto-foto iklan. Nuki berpendapat bahwa penggunaan olah digital harus proporsional. “Olah digital itu seperti make up, proporsional aja. Kalau wanita nggak pakai make up kan terkesan begitu-begitu saja, tapi penggunaan make up berlebihan dan menor pun juga membuatnya jadi tidak menarik. Foto juga begitu, kalau olah digitalnya nggak ada sama sekali kadang terasa hambar, walaupun tidak selalu. Tapi kalau olah digitalnya berlebihan juga nggak menarik.” Ungkapnya. Untuk itu Nuki memandang perlu kedewasaan fotografer dalam bisa melakukan porsi olah digital yang sesuai.
Pengamat fotografi Subakti juga berpendapat pernggunaan olah digital sah-sah saja, terutama jika foto yang dihasilkan untuk koleksi pribadi. Hanya saja idealnya porsinya sesuai. “Kalau berani nyebut fotografer ya banyakin di fotografinya dong, jangan di photoshopnya.” Tegasnya. Hal ini senada dengan pernyataaan Hary Suwanto, seorang fotografer wedding yang menjadi nara sumber kami pada edisi terdahulu. Hary juga merasa tidak keberatan akan pernggunaan olah digital yang dominan sejauh sang pembuat tidak menyebut diri sebagai fotografer.
Hal yang sedikit bertentangan pernah diungkapkan oleh Suherry Arno, seorang print maker yang menjadi nara sumber kami di edisi sebelumnya. Suherry menegaskan proses olah digital layaknya proses kamar gelap jadi bukan hal yang tabu. Selain itu Suherry juga berpendapat bahwa kemampuan untuk menentukan cara mengolah foto tersebut juga merupakan keahlian khusus yang sudah pasti melibatkan cita rasa seni yang baik.
Tapi dari sekian banyak pengamat dan pelaku fotografi yang kami wawancarai, sebagian besar menganggap penggunaan olah digital harus bijaksana. Artinya sesuai keperluan dan untuk itu dituntut kebesaran hati dari sang pencipta foto tersebut. Kebesaran hati untuk bisa mengakui bahwa ada hal yang seharusnya dicapai melalui fotografi dan ada hal yang memang hanya bisa dicapai melalui olah digital. Bagaimana caranya untuk bisa membedakan hal tersebut. Di edisi perdana kami, Irvan Arryawan, seorang fotografer fashion pernah berkata bahwa jika olah digitalnya baru diketahui belakangan, artinya motretnya belum benar. Artinya ketika seorang fotografer memiliki kemampuan fotografi yang cukup maka fotografer harus mengetahui mana foto yang memang perlu olah digital mana yang tidak. Dan proses ke situ pun harus diketahui di awal, bukan secara tidak sengaja di tengah-tengah atau akhir pemotretan.
Yuslino, seorang pehobi foto yang sudah lebih dari 15 tahun mendalami fotografi berpendapat bahwa dapat dimengerti jika seorang pemula melakukan olah digital lebih banyak dari fotografinya. Namun seiring dengan bertambahnya jam terbang idealnya fotografer bersangkutan harus berani menantang diri sendiri untuk mulai mengurangi porsi olah digital hingga pada titik benar-benar diperlukan saja. Yuslino mengaku ketika sebuah foto dihasilkan dengan banyak olah digital padahal hal tersebut bisa dicapai di fotografi artinya fotografer yang bersangkutan harus lebih memperdalam fotografinya.
Untuk itu Ajie Lubis, seorang fotografer komersil yang juga mengajar mata kuliah fotografi di berbagai perguruan tinggi selalu menekankan siswanya untuk menganggap tidak ada teknologi olah digital ketika memotret. Hal ini untuk membiasakan fotografer yang bersangkutan untuk tidak bergantung dan manja terhadap software olah digital.
Pada akhirnya, memang tidak ada aturan dan sanksi yang baku terhadap penggunaan software olah digital pada penciptaan sebuah foto. Segala sesuatunya dikembalikan kepada kita semua sebagai pencipta foto. Ada yang sangat puas bila bisa menyulap foto jelek jadi bagus, ada yang justru puas ketika bisa menghasilkan foto bagus dengan sentuhan olah digital seminim mungkin.
Bagaimana dengan Anda?
Sumber: thelight edisi VII/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar